Serikat Petani Indonesia (SPI) memberikan dukungan terkait kebijakan pemerintah tentang pencabutan izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang ditelantarkan.
"Bagi SPI, hal tersebut adalah sebuah pelaksanaan kebijakan yang harus diambil dalam mengatasi ketimpangan agraria dan penguasaan kekayaan alam yang masih terjadi di Indonesia sejak zaman kolonial," kata Ketua Umum SPI, Henry Saragih, Selasa (11/1/2022).
Selama empat dekade terakhir ini, menurutnya, rasio kepemilikan tanah berfluktuasi pada rentang nilai 0,50 – 0,72, ketimpangan yang tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan kepemilikan tanah pada 2013 mencapai 0,68, yang berarti hanya 1% rakyat Indonesia menguasai 68% sumber daya tanah. Sehingga pencabutan izin HGU, Hak Pengelolalaan Hutan (HPH), dan konsesi ini harus diposisikan sebagai bagian dari pelaksanaan reforma agraria.
“Lokasi tanah-tanah HGU, HPH, dan konsesi yang dicabut izinnya harus segera ditetapkan sebagai Tanah Objek Reforma Agraria dan didistribusikan kepada petani dan rakyat tak bertanah, bukan untuk kepentingan korporasi-korporasi industri pertanian, perkebunan, kehutanan, dan pengembang real estate,” tegas Henry.
Henry menerangkan, ada banyak kendala yang didapat dalam pelaksanaannya, sejak terbentuk GTRA Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dan Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Agraria (PPKA-PKRA), mulai dari kurangnya pemahaman birokrat terhadap reforma agraria. Terutama soal peraturan dan hal teknis administrasi; masih terjadi sektoralisasi penanganan konflik agraria yang semestinya dilakukan secara bersama.
Henry selanjutnya menekankan tentang urgensi disegerakannya revisi Perpres Reforma Agraria. Tujuannya adalah agar kelembagaan pelaksana reforma agraria dan percepatan penyelesaian konflik agraria dapat lebih kuat. “Harus dipimpin langsung oleh presiden, memiliki anggaran yang jelas, dan menempatkan organisasi petani sebagai bagian unsur penting dari kelembagaan tersebut,” katanya.
Sebagaimana diketahui, Presidan Joko Widodo dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (06/01) memaparkan, pemerintah terus memperbaiki tata kelola kekayaan alam dengan mengevaluasi secara menyeluruh izin-izin pertambangan, kehutanan, dan penggunaan tanah negara. Pemerintah menyadari bahwa ada ketimpangan, ketidakadilan, dan kerusakan alam yang dilakukan korporasi pertambangan, hutan dan perkebunan. Turut mendampingi Presiden yakni Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Investasi/BKPM dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Presiden juga menjelaskan, sebanyak 192 izin sektor kehutanan seluas 3.126.439 hektare dicabut karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja, dan ditelantarkan. Beberapa konsesi lain saat ini juga sedang dalam evaluasi. Presiden melanjutkan, Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang ditelantarkan seluas 34,448 hektare juga dicabut.
Dari luasan tersebut, sebanyak 25.128 hektare adalah milik 12 badan hukum dan sisanya seluas 9.320 hektare merupakan bagian dari HGU yang telantar milik 24 badan hukum. Dengan alasan yang sama yakni tidak pernah menyampaikan rencana kerja, sebanyak 2.078 izin perusahaan pertambangan mineral dan batu bara (minerba) juga dicabut oleh pemerintah.